Penggundulan hutan merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mempunyai kontribusi, yang salah satunya dengan mengkonsumsi sejumlah besar produk yang terkait dengan deforestasi.
Kayu merupakan salah satu komoditi yang terdampak EUDR
Dalam upayanya untuk mempertanggungjawabkan hal ini, Uni Eropa bertekad untuk membantu mengakhiri permasalahan ini dengan melindungi dan meningkatkan kesehatan hutan yang ada, khususnya hutan primer. Dan Untuk mencapai tujuan ini, Uni Eropa telah mengeluarkan undang-undang baru pada tahun 2023 yang disebut 'European Union Deforestation-Free Products Regulation (EUDR), yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada bulan Desember 2024.
Peraturan ini berdampak pada tujuh komoditas yang terkait dengan aktivitas penggundulan hutan, seperti daging sapi, kedelai, minyak kelapa sawit, kakao, kopi, karet, kayu dan produk kayu. Hal ini juga berdampak pada produk turunannya, seperti coklat yang dibuat dari kakao dan furniture dari kayu.
Tantangan Peraturan EUDR
Operator yang memasarkan produknya ke Eropa menjadi pihak yang akan terkena dampak peraturan ini secara langsung. Operator (trader, peritel, importer, dll) hanya akan diizinkan menjual produk di Eropa jika mereka telah melakukan atau memiliki apa yang disebut “due diligence statement” atau pernyataan uji tuntas.
Uji tuntas ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk tersebut tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau menyebabkan degradasi hutan. Perusahaan harus melakukan penilaian risiko yang mengatasi permasalahan spesifik suatu negara, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia hingga penelusuran asal produk.
Namun untuk mencapai kriteria tersebut relatif sulit. Pasalnya sebagian besar produk pertanian seperti kopi kebanyakan ditanam oleh petani skala kecil di dalam kawasan hutan. Kemampuan untuk menjalankan operasi “due-diligence“ dalam waktu singkat sangatlah sulit.
Tantangan lainnya menurut para pelaku industri terkait adalah bahwa hal ini kemungkinan besar akan menciptakan banyak sekali pekerjaan administratif, namun tidak memberikan manfaat yang langsung dan nyata bagi hutan. Saat ini, banyak dari operator yang merasa gugup, dan sebagian disebabkan oleh kurangnya transparansi dan informasi dari pihak Komisi Eropa.
Dalam beberapa bulan terakhir sejak awal 2024, EUDR menerima banyak sekali kritikan terutama dari industri minyak sawit. Bahkan sekelompok pelaku industri di AS sempat mengirimkan surat resmi untuk menunda memberlakukan EUDR.
Teknologi Geo-lokasi
EUDR meminta pengumpulan data koordinat geografis pada lahan tempat bahan baku diperoleh, dan sangat penting untuk memverifikasi tidak adanya penggundulan hutan. Berbagai metode, termasuk aplikasi seluler yang dapat digunakan. Salah satu tantangannya adalah ketentuan untuk memperbarui data secara 'real-time'. Pada industri yang dilakukan secara tradisional sering kali hanya melakukan pelaporan data secara berkala, namun penekanan EUDR pada informasi yang real-time menuntut perubahan yang cukup besar.
Dunia usaha harus berinvestasi pada teknologi geolokasi yang mampu melacak produk secara real-time di seluruh rantai pasokan. Hal ini memerlukan teknologi yang canggih seperti pelacakan GPS dan perangkat IoT (Internet of Things) untuk memastikan pergerakan dan pengadaan produk secara langsung. Dan tentunya hal tersebut akan menambah ongkos produksi lebih tinggi.
Efektifkah peraturan EUDR?
Oleh beberapa negara produsen termasuk Indonesia dan Malaysia, menganggap peraturan EUDR sebagai tindakan proteksionis dan 'diskriminatif' berkedok kelestarian lingkungan. Terdapat kekhawatiran bahwa EUDR dapat mengakibatkan tersingkirnya produsen-produsen kecil, yang memiliki andil besar pada rantai produksi di negara-negara berkembang.
Bahkan Malaysia tengah berupaya menggandakan volume ekspor minyak sawit ke Tiongkok dalam menyiasati pembatasan impor yang diberlakukan oleh Uni Eropa berdasarkan peraturan EUDR.
Banyak negara lainnya yang juga terkena dampak langsung oleh peraturan Uni Eropa dan mengaku kurang siap untuk mengikuti tenggat waktu yang diberikan, termasuk Brasil, Argentina, Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Honduras, dan Kamerun.
(Dirangkum dari berbagai sumber)
Kayu merupakan salah satu komoditi yang terdampak EUDR
Dalam upayanya untuk mempertanggungjawabkan hal ini, Uni Eropa bertekad untuk membantu mengakhiri permasalahan ini dengan melindungi dan meningkatkan kesehatan hutan yang ada, khususnya hutan primer. Dan Untuk mencapai tujuan ini, Uni Eropa telah mengeluarkan undang-undang baru pada tahun 2023 yang disebut 'European Union Deforestation-Free Products Regulation (EUDR), yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada bulan Desember 2024.
Peraturan ini berdampak pada tujuh komoditas yang terkait dengan aktivitas penggundulan hutan, seperti daging sapi, kedelai, minyak kelapa sawit, kakao, kopi, karet, kayu dan produk kayu. Hal ini juga berdampak pada produk turunannya, seperti coklat yang dibuat dari kakao dan furniture dari kayu.
Tantangan Peraturan EUDR
Operator yang memasarkan produknya ke Eropa menjadi pihak yang akan terkena dampak peraturan ini secara langsung. Operator (trader, peritel, importer, dll) hanya akan diizinkan menjual produk di Eropa jika mereka telah melakukan atau memiliki apa yang disebut “due diligence statement” atau pernyataan uji tuntas.
Uji tuntas ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk tersebut tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau menyebabkan degradasi hutan. Perusahaan harus melakukan penilaian risiko yang mengatasi permasalahan spesifik suatu negara, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia hingga penelusuran asal produk.
Namun untuk mencapai kriteria tersebut relatif sulit. Pasalnya sebagian besar produk pertanian seperti kopi kebanyakan ditanam oleh petani skala kecil di dalam kawasan hutan. Kemampuan untuk menjalankan operasi “due-diligence“ dalam waktu singkat sangatlah sulit.
Tantangan lainnya menurut para pelaku industri terkait adalah bahwa hal ini kemungkinan besar akan menciptakan banyak sekali pekerjaan administratif, namun tidak memberikan manfaat yang langsung dan nyata bagi hutan. Saat ini, banyak dari operator yang merasa gugup, dan sebagian disebabkan oleh kurangnya transparansi dan informasi dari pihak Komisi Eropa.
Dalam beberapa bulan terakhir sejak awal 2024, EUDR menerima banyak sekali kritikan terutama dari industri minyak sawit. Bahkan sekelompok pelaku industri di AS sempat mengirimkan surat resmi untuk menunda memberlakukan EUDR.
Baca juga:
8 Kelompok Pebisnis Kayu di AS Minta Agar Peraturan EUDR ditunda
Teknologi Geo-lokasi
EUDR meminta pengumpulan data koordinat geografis pada lahan tempat bahan baku diperoleh, dan sangat penting untuk memverifikasi tidak adanya penggundulan hutan. Berbagai metode, termasuk aplikasi seluler yang dapat digunakan. Salah satu tantangannya adalah ketentuan untuk memperbarui data secara 'real-time'. Pada industri yang dilakukan secara tradisional sering kali hanya melakukan pelaporan data secara berkala, namun penekanan EUDR pada informasi yang real-time menuntut perubahan yang cukup besar.
Dunia usaha harus berinvestasi pada teknologi geolokasi yang mampu melacak produk secara real-time di seluruh rantai pasokan. Hal ini memerlukan teknologi yang canggih seperti pelacakan GPS dan perangkat IoT (Internet of Things) untuk memastikan pergerakan dan pengadaan produk secara langsung. Dan tentunya hal tersebut akan menambah ongkos produksi lebih tinggi.
Efektifkah peraturan EUDR?
Oleh beberapa negara produsen termasuk Indonesia dan Malaysia, menganggap peraturan EUDR sebagai tindakan proteksionis dan 'diskriminatif' berkedok kelestarian lingkungan. Terdapat kekhawatiran bahwa EUDR dapat mengakibatkan tersingkirnya produsen-produsen kecil, yang memiliki andil besar pada rantai produksi di negara-negara berkembang.
Bahkan Malaysia tengah berupaya menggandakan volume ekspor minyak sawit ke Tiongkok dalam menyiasati pembatasan impor yang diberlakukan oleh Uni Eropa berdasarkan peraturan EUDR.
Banyak negara lainnya yang juga terkena dampak langsung oleh peraturan Uni Eropa dan mengaku kurang siap untuk mengikuti tenggat waktu yang diberikan, termasuk Brasil, Argentina, Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Honduras, dan Kamerun.
(Dirangkum dari berbagai sumber)