Kayu tersusun dari jutaan pilar-pilar yang sangat kecil (seperti jajaran jarum) dan terhubung antar satu dan yang lain. Di dalam masing-masing pilar (susunan pori-pori) tersebut terdapat sejumlah kecil air yang terendap. kandungan air tersebut ada semenjak pohon masih berdiri. Ketika pohon dipotong, secara tidak langsung potongan itu membuat 'lubang' untuk jalan air membebaskan diri dari pori-pori kayu.
Akan tetapi hal itu tidaklah semudah kita membayangkan air yang terdapat pada selang. Apabila kelembaban udara di luar permukaan kayu tersebut paling tidak sama atau lebih tinggi dari kelembaban di dalam batang kayu maka kandungan air di dalam kayu akan tetap tinggal di dalam.
Pada waktu suhu udara meningkat di luar permukaan, fenomena ini memaksa air di dalam kayu untuk keluar melalui proses penguapan. Jika kayu kehilangan kandungan airnya, secara otomatis akan kehilangan 'ruang' yang sebelumnya digunakan kandungan air tersebut dan ruang kosong ini membuat ikatan antara pori-pori menjadi lebih dekat. Oleh karena itulah ukuran kayu dan bentuk kayu akan menyusut karena kayu kehilangan 'volume' di dalamnya.
Apabila air bisa keluar dari kayu, pasti juga bisa kembali memasuki kayu walaupun tidak semudah ketika menguap. Kekuatan dan arah penyusutan kayu dipengaruhi oleh berbagai aspek yang antara lain kekerasan, posisi kayu pada waktu dikeringkan, bagian kayu (teras atau gubal) dan lainnya yang berhubungan dengan proses pengeringan.
Dari sinilah mengapa kayu harus dikeringkan sebelum memasuki proses produksi. Proses pengeringan kayu biasa disebut kiln dry. Kayu yang lebih keras akan lebih lama dan lebih sulit dikeringkan. Kayu lunak lebih cepat proses pengeringannya tetapi juga lebih mudah menjadi basah kembali karena ukuran pori-pori yang lebih besar.